Definisi
Barang
adalah barang yang dipakai oleh Terdakwa untuk melakukan kejahatan. Barang
bukti sangat diperlukan menambah keyakinan hakim dalam memutus perkara.
Barang
bukti menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, dapat digolongkan menjadi dua yaitu
:
1. Benda bergerak, misalnya meja atau ternak.
2. Benda tak bergerak, misalnya hak atas benda
bergerak seperti hak memungut hasil, hak pakai, hak atas saham, dll.
Sedangkan
menurut HIR, barang bukti hanya terdiri atas barang bergerak (pasal 42 jo 63
HIR). Dan menurut Pasal 1 butir (6)
KUHAP, barang bukti dibedakan menjadi empat:
1. Benda bergerak
2. Benda tak bergerak
3. Benda berujud
4. Benda tak berujud
Pasal
181 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa hakim ketua sidangmemperlihatkan kepada
terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda
itu. Dalam ayat (2) pasal ini, hakim juga dapat memperlihatkan barang bukti
tersebut kepada saksi. Fungsi memperlihatkan barang bukti baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi adalah untuk mengidentifikasi barang bukti tersebut bahwa
memang benar benda tersebut yang dipakai terdakwa untuk melakukan kejahatan
sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum. Dengan diidendentifikasikannya barang
bukti tersebut, maka hal itu akan menambah keyakinan hakim bahwa memang telah
terjadi tindak pidana dan memang benar terdakwalah yang melakukan perbuatan
itu.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa barang bukti
adalah barang-barang baik yang berujud, bergerak dan tak bergerak, yang dapat
dijadikan bukti dan fungsinya untuk diperlihatkan kepada terdakwa ataupun saksi
di persidangan untuk mempertebal atau menambah keyakinan hakim dalam memutus
sebuah perkara.
Penyitaan
Pejabat dapat mengamankan barang bukti. Yang dimaksud dengan
mengamankan di sini adalah mencari, menerima dan menyimpan hingga barang bukti
tersebut pada waktunya akan diajukan ke depan persidangan. Menurut KUHAP,
pejabat yang diberi wewenang untuk mengamankan barang bukti adalah penyidik dan
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
(Pasal 6 ayat (1) KUHAP). Barang bukti yang disita tersebut disimpan dalam
rumah penyimpanan benda sitaan negara. Namun apabila belum rumah penyimpanan
benda sitaan negara maka barang sitaan akan disimpan di Kantor Kejaksaan
Negeri, di Kantor Pengadilan Negeri , di gedung bank pemerintah atau apabila
keadaan memaksa disimpan di tempat penyimpanan lain atau di tempat semula benda
itu disita.
Apabila perkara telah diputus oleh hakim dan putusan telah
memiliki kekuatan hukum tetap maka barang bukti tersebut dapat dikembalikan
lagi. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dikembalikan kepada pemilikny
sebelum diputus oleh hakim. Berdasarkan Pasal 46 KUHAP, benda yang dikenakan
penyitaan dapat dikembalikan apabila:
1. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukannya lagi,
2. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak
cukup bukti atau ternyata bukan merupakan tindak pidana,
3. Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan
umum, atau perkara ditutup demi hukum, kecuali apabila bnda itu diperoleh dari
suatu tindak pidana yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
Pasal
39 KUHAP menyatakan benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
1. Benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang
seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil
dari tindak pidana,
2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung
untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya,
- Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana,- Benda yang khusus dibuat atau dipergunakan melakukan tindak pidana,
- Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yng dilakukannya.
Barang
yang dijadikan barang bukti tidak dibenarkan dipakai sebelum perkaranya diputus
oleh hakim karena akan membuat perkara menjadi kabur apabila barang tersebut
hilang atau rusak. Namun ada pertimbangan yang membolehkannya pemilik meminjam
barang bukti tersebut:
1. Barang tersebut karena sifat/ujudnya tidak akan
mengganggu kepentingan persidangan,
2. Kepentingan hak-hak dasar manusia dari
peminjam/pemilik barang tersebut, misal untuk kebutuhan hidup tersebut sangat
mendesak,
3. Peminjam/pemilik barang tersebut membuat
pernyataan/perjanjian di atas segel menyatakan sangup bahwa barang tersebut
sewaktu-waktu dibutuhkan untuk kepentingan persidangn dapat segera
mengembalikan dalam keadaan baik seperti semula.
Jadi
peminjaman barang bukti yang disita tersebut didasarkan atas kebijaksanaan
semata-mata dari pejabat penyitaan demi kepentingan perikemanusiaan. Namun
untuk menjaga agar terjamin keutuhan atau kelengkapan barang bukti, maka ditentukan
sanksi, dapat dilihat dalam kententuan Pasal 231, 232 dan Pasal 233 KUHP.
Dalam
persiapan sidang maka jaksa penuntut umum harus meneliti berkas perkara
termasuk barang bukti:
- Barang bukti yang tercantum di dafar barang
bukti berkas perkara agr diteliti dan dicocokkan dengan kenyataannya dan
diperiksa pembungkusnya dengan memperhatikan lak segelnya.
-
Barang bukti yang sekiranya tidak mungkin dibawa seluruhnya ke depan persidangan karena wujud atau jumlahnya terlalu banyak, cukup diajukan contohnya saja. Sedangkan untuk barang bkti yang karena sifatnya/keadaannya tidak mungkin dibawa ke depan persidangan, maka cukup diajukan surat-surat tanda milik barang bukti tersebut.
Barang bukti yang sekiranya tidak mungkin dibawa seluruhnya ke depan persidangan karena wujud atau jumlahnya terlalu banyak, cukup diajukan contohnya saja. Sedangkan untuk barang bkti yang karena sifatnya/keadaannya tidak mungkin dibawa ke depan persidangan, maka cukup diajukan surat-surat tanda milik barang bukti tersebut.
- Sehari sebelum hari sidang, jaksa penuntut umum
harus mengadakan pengecekan penyediaan barang bukti. Mengenai barang bukti yang tidak dimungkinkan
seluruhnya dibawa ke depan persidangan, maka jaksa penuntut umum harus
menyiapkan barang bukti tersebut di tempat, untuk sewaktu-waktu diperiksa oleh
hakim.
Dalam
hal barang-barang sitaan yang lekas rusak/busuk maka menurut Surat Edaran Jaksa
Agung RI tanggal 13 Juli 1935 No. 15/1953 menginstruksikan kepada pegawai
penuntut umum untuk bertindak seperti dilakukan dalam ayat (2) dan (3) dari
pasal 2 PP No. 11/1947 jo No. 43/1948 dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Barang-barang atau benda-benda itu hendaknya
dijual seberapa mungkin dengan harga pasar.
2. Penjualan harus diijinkan dengan tegas oleh
pemilik atau yang berhak,
3. Daripada barang-barang atau benda-benda itu
hendaknya ditahan sebuah contoh atau sebagian kecil untuk dijadikan barang
bukti bagi hakim,
4. Hasil penjualannya dikurangi biaya-biaya
penjualan hendaknya diajukan ke sidang pengadilan sebagai barang-barang bukti,
5. Barang-barang bukti tidak dijual bila menurut
peraturan barang-barang itu tidak boleh dijual
atau mengenai hal itu telah dikeluarkan peraturan-peraturan
istimewa atau penuntut umum mengambil
keputusan lain.
Pasal
45 KUHAP mengatur sebagai berikut:
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang
dapat lekas rusak atau membahayakan sehingga tidak mungkin untuk disimpan
sampai putusan pengadilan.... atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan
menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau
kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a. Apabila
perkara masih di tangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat
dijual lelang atau diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan
disaksikan oleh tersangka atau kuasanya,
b. Apabila
perkara sudah ada di tangan pengadilan maka benda tersebut dapat diamankan atau
dijual lelang oleh penuntut umum dengan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang
berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1).
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau yang dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1).
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau yang dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Status bukti setelah adanya putusan
Di
dalam persidangan, hakim diwajibkan untuk memperlihatkan barang bukti baik kepada terdakwa maupun saksi. Hal ini
tidak lain agar hakim tidak salah menggunakan barang bukti yang mungkin saja
baik saksi maupun terdakwa tidak mengakui kebenarannya/keasliannya dari barang
bukti yang diajukan jaksa dalam persidangan. Hal ini diatur dalam Pasal 181
KUHAP.
Dalam
amar putusan, hakim biasanya mengandung dua hal, yaitu:
1. Mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa
2. Mengenai status barang bukti dalam perkara yang
bersangkutan
Berdasarkan
pasal 316 HIR, status barang bukti setelah putusan adalah sebagai berikut:
1. Barang bukti kembali kepada pemilik
2. Barang bukti dirampas oleh negara,
3. Barang bukti yang dirampas ini merupakan barang yang diperoleh dengan kejahatan, misalnya uang palsu yang diperoleh dari kejahatan pemalsuan uang, dan barang yang sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, misalnya pisau, pistol, dll.
1. Barang bukti kembali kepada pemilik
2. Barang bukti dirampas oleh negara,
3. Barang bukti yang dirampas ini merupakan barang yang diperoleh dengan kejahatan, misalnya uang palsu yang diperoleh dari kejahatan pemalsuan uang, dan barang yang sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, misalnya pisau, pistol, dll.
4. Barang bukti dirampas untuk dimusnahkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar